Jumat, 15 April 2011

Mahabbah

Pendahuluan
Mahabbah (cinta) merupakan tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan di antara orang-orang yang suka berlomba, dengan sepoi anginnya, orang-orang yang beribadah merasakan ketenangan. Cinta merupakan santapan hati, makanan ruh dan kesenangannya. Cinta merupakan kehidupan, sehingga orang yang tidak memilikinya seperti orang mati. Cinta adalah cahaya, siapa yang tidak memilikinya seperti berada di tengah lautan yang gelap gulita. Cinta adalah obat penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya diendapi berbagai macam penyakit. Cinta adalah kelezatan, siapa yang tidak memilikinya maka seluruh hidupnya diwarnai kegelisahan dan penderitaan. Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan, yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya jasad yang tidak memiliki ruh. Cinta membawakan beban orang-orang yang mengadakan perjalanan saat menuju ke suatu negeri, yang tentu saja mereka akan keberatan jika beban itu dibawa sendiri. Cinta menghantarkan mereka ke tempat persinggahan yang selainnya tak bisa menghantarkan mereka ke tujuan. Cinta adalah kendaraan yang membawa mereka kepada sang kekasih. Cinta adalah jalan mereka yang lurus, yang menghantarkan mereka ke tempat persinggahan pertama yang terdekat. Demi Allah, para pemilik cinta telah pergi membawa kemuliaan dunia dan akhirat, sehingga akhirnya senantiasa bersama sang kekasih. Allah telah menetapkan bahwa seseorang itu bersama orang yang paling dicintainya. Sungguh ini merupakan kenikmatan tiada tara yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki cinta.
Makalah ini akan membahas tentang mahabbah yang rujukan utamanya adalah kitab Al luma’ karya Abu Nashr as-Sarraj, namun dalam kitab al luma’ itu sendiri penjelasan tentang mahabbah tidak terlalu luas, padahal pembicaraan tentang mahabbah itu menarik untuk disimak, oleh karena itu kiranya perlu ada tambahan-tambahan penjalasan yang diambil dari rujukan lain, ini ditujukan untuk memjelaskan apa yang tidak terdapat dalam kitab tersebut selain sebagai pembanding atau bahkan kritik terhadap kitab tesebut.

Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang, dan secara bahasa kata mahabbah berkisar pada lima perkara:
1. Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang.
2. Tinggi dan tampak jelas, seperti kata hababul-ma'i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras.
3. Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba'ir, yang berarti onta yang sedang menderum dan tidak mau bangkit lagi.
4. Inti dan relung, seperti kata habbatul-qalbi, yang berarti relung hati.
5. Menjaga dan menahan, seperti kata hibbul-ma'i lil-wi'a', yang berarti air yang terjaga di dalam bejana.
Selain itu mahabbah yang mempunyai arti kecintaan juga diartikan sebagai kelembutan, perasaan sayang dan kecenderungan, namun ketika cinta mempengaruhi dan meresapi semua perasaan manusia, ia disebut nafsu (passion) dan ketika ia menjadi sangat dalam dan tidak dapat ditahan dan ingin menyatu maka ia dinamakan gairah dan antusiasme.
Dari segi tasawuf al Qusyairi mengemukakan pengertian mahabbah sebagai berikut: mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt.
Sedangkan as-Sarraj menyebutkan bahwa mahabbah adalah kondisi spiritual seseorang yang dapat melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya ia melihat kedekatan Allah dengannya segala perlidungan , penjagaan dan perhatian-Nya yang dilimpahkan kepadanya, maka dengan keimanan dan hakikat keyakinannya ia melihat perlindungan, petunjuk dan cinta-Nya yang dianugrahkan kepadanya.
Mengamati penjelasan dari as-Sarraj diatas, terlihat bahwa yang ia kemukakan adalah sebab akibat atau dampak positif dari mahabbah itu sendiri karena ketika mahabbah (cinta) menyelimuti hati seeorang maka semuanya tampak indah, hal ini tersirat dari ungkapan husna tentang cinta dalam novel ketika cinta bertasbih, “cinta adalah kekuatan yang mampu mengubah duri jadi mawar, mengubah cuka jadi anggur, mengubah malang jadi untung, mengubah sedih jadi riang, mengubah setan jadi nabi, mengubah iblis jadi malaikat, mengubah sakit jadi sehat, mangubah kikir jadi dermawan, mengubah kandang jadi taman, mengubah penjara jadi istana, mengubah amarah jadi ramah, mengubah musibah jadi muhibah”, ungkapan di atas menjelaskan bahwa dengan cinta (mahabbah) sesorang dapat merasakan keindahan dan ketentraman walaupun yang tampak pada sisi luarnya adalah sebaliknya.
Kami melihat bahwa yang diungkapkan as-Sarraj bukanlah definisi tepat tentang mahabbah bahkan yang didefinisikan oleh al qusyairy sekalipun bukan pendefinisian yang tetap untuk mahabbah secara subtansial, kami beranggapan tidak ada satu definisipun yang bisa merepresentasikan mahabbah secara subtansialnya karena mahabbah (cinta) itu adalah perkerjaan jiwa sedangankan untuk melukiskan apa yang ada dalam jiwa dengan memakai simbol kata-kata kadang tidak tepat atau tidak sempurna, ia hanya menyentuh bagian kecilnya saja tidak bisa melukiskan secara kesuluruhan selain setiap pendefinisian yang dilakukan merupakan versi sabyektif seseorang, hal ini selaras dengan puisi tentang definisi cinta: “ sekalipun cinta telah ku uraikan panjang lebar, namun jika cinta ku datangi, akau jadi malu pada keteranganku sendiri, meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang, namun tampa lidah, cinta ternyata lebih terang, sementara pena begitu tergesa-gesa melukiskannya, kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta, dalam menguraikan cinta akal terbaring tak berdaya bagaikan keledai terbaring dalam lumpur, cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan”, dari puisi ini jelas bahwa cinta adalah pekerjaan jiwa hanya mampu dirasakan dengan perasaan dengan jelas namun sulit untuk mengungkapkan tentang arti cinta (mahabbah dalam hal ini), ini juga paralel dengan pernyataan al ghazali bahwa cinta itu tidak berbentuk.
Jadi menurut kami semua pendefinisian tentang mahabbah dalam penjelasan diatas adalah upaya menjelaskan perasaan yang ada dalam hati seseorang berkaitan dengan perasaan cintanya kepada Allah SWT walaupun bukan arti subtasial mahabbah itu sendiri, yang lebih tepatnya adalah penjelasan dari serpihan dari bagian-bagian yang dirasakan hati seseorang dalam mahabbah, kami lebih bersepakat membiarkan mahabbah dengan makna bahasanya saja, itu merupakan tindakan yang lebih aman untuk memaknai mahabbah daripada memberikan definisi pada hal yang tidak bisa disentuh dengan kongkret, hal ini bertujuan untuk tidak terjebak dalam kesalahan memahami arti mahabbah itu sendiri, walaupun disisi lain perlu adanya pendefinisian pada setiap sesuatu sebagai gambaran tentang sesuatu tersebut, namun dalam mahabbah kami lebih condong untuk tidak mengatakan definisi melainkan gambaran tentang kondisi mahabbah, biarlah hati setiap individu yang mengartikan mahabbah dalam hatinya sendiri.


Tujuan Mahabbah
Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.


Macam-Macam Mahabbah
Secara garis besar terbagi menjadi tiga macam.
Pertama : Mahabbah Tabi’at.
Macam mahabbah yang pertama ini bukanlah pembicaraan dalam makalah ini. Namun sangat penting untuk disinggung dan diperhatikan seiring betapa banyak yang tergelincir di dalam perkara ini, baik disadari maupun tidak.
Yaitu mahabbah yang seseorang condong kepada apa yang diinginkannya secara tabiat kemanusiaannya. Seperti kecintaan dan keinginannya kepada perkara-perkara mubah yang di antaranya Allah ? sebutkan di dalam ayat-Nya :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ من النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ الْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ من الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ الْحَرْثِ ذَالك مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ اللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk mencintai apa-apa yang diingini dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan kehidupan dunia dan di sisi Allah adalah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran: 14).

Kedua : Mahabbah kepada apa yang dicintai Allah, karena Allah dan di jalan-Nya.
Mahabbah ini terwujud pada diri seseorang kepada sesuatu yang memang dicintai Allah baik berupa manusia, seperti para nabi, rasul, orang-orang mukmin, atau amalan, seperti sholat, zakat, amalan-amalan kebaikan, ataupun waktu, seperti bulan Ramadhan, seperti hari-hari terakhir di bulan tersebut, ataupun tempat seperti masjid-masjid Allah, Ka’bah dan selainnya.
Tidaklah berlebihan bila macam mahabbah yang kedua ini merupakan penyempurna dan konsekuensi mahabbah seseorang kepada Allah, iman dan tauhidnya. Wa Lillahil Hamdu.
Ketiga : Mahabbah kepada Allah
Mahabbah ini yang menyebabkan seorang hamba menundukkan hatinya untuk mengagungkan Dzat yang dia cintai, mentaati dengan sebenar-benar ketaatan di dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya di atas seluruh makhluk-Nya, kalaulah seseorang beribadah tanpa disertai mahabbah maka jadilah dia beribadah tanpa ruh yang menggerakkan hati untuk menghadap Allah.

Tingkatan Mahabbah
Menurut Abu Nasr as-Sarraj mahabah mempunyai tiga tingkat:
(1) Mahabbah orang biasa, dimana mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah SWT, dalam artian rasa cintanya pada Allah karean ia meliahat kebaikan Allah kepadanya, dalam tingkatan mahabbah ini disyaratkan untuk: suka menyebut nama Allah SWT, mengingat-Nya terus-menerus (sebagaimana yang pernah ditanyakan pada samnun), selalu mengingat Allah dengan zikir, dan memdapatkan kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta memuji-Nya.
(2) Mahabbah orang jujur, yaitu orang yang kenal kepada Allah Swt. seperti kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya. Adapun sifat dan syarat nya adalah: Mahabbah ini dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah Swt. sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Allah SWT (abu husain an-nuri), dapat membuat orang sanggup orang sanggup menghilangkan keinginannya dan menghapus sifat-sifat dan kebutuhannya sendiri (jawaban dari ibrahim al-khawwas saat ditanya tentang mahabbah), orang yang berada pada mahabbah ini akan selalu mendapatkan kesenangan dengan “berdialog” pada Allah, sementara hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada-Nya (abu said al-kharraz saat ditanya tentang mahabbah).
(3) Mahabbah orang arif, yaitu cinta orang yang benar-benar mengetahui Allah SWT. ia memcintai-Nya tampa sebab dan alasan apapun, sifat-sifat mahabbah ini adalah memurnikan cinta kepada Allah tampa setitik noda apapun dengan cara hilang rasa cinta dari dalam hati dan anggota tubuh sehingga didalamnya tidak ada lagi rasa cinta (mahabbah) segala sesuatu hanya dengan Allah dan untuk Allah (dzun-nun al-mishri), dalam mahabbah ini yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta tetapi diri yang dicintai (abu ya’qub as-susi), masuknya sifat-sifat yang dicintai ke dalam diri yang mencintai (al- junaid), Cinta pada tingkat inilah yang menyebabkan seorang hamba dapat berdialog dan menyatu dengan (kehendak) Allah SWT.
Penggolongan mahabbah seperti halnya klasifikasi terhadap tingkatan mahabbah yang dilakukan as-Sarraj sulit untuk dilakukan, hanya orang yang memiliki pemahaman yang mendalam yang bisa melakukannya, atas dasar ini apa yang dilakukan oleh as-Sarraj ini sepatutnya mendapatkan apresiasi besar karena telah memberikan pencerahan terhadap pembaca dalam memahami mahabbah, hanya saja dalam pengklasifikasian ini tardapat beberapa hal yang membuat kami melakukan koreksi dan kritikan namun hal ini tidak mengurangi dalam memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada beliau, beberapa hal tesebut adalah bentuk ketidak samaan persepsi dengan beliau dan keluhan terhadap apa yang tertulis dalam kitab al-luma’, namun yang kami temukan ini bisa saja karena keterbatasan kami dalam memahami teks atau kekurang pahaman kami pada konsep.
Pertama: syarat-syarat dalam setiap tingkatan mahabbah diatas yang disebutkan oleh as-Sarraj tidak disusun sitematis, ia hanya menyebutkan syarat-syarat tersebut dengan menukil dari unglapan sufi yang lain sehingga ada kesan itu bukan syarat namun ungkapan sufi lain tentang mahabbah yang dipaksakan menjadi syarat dalam setiap tingkatan mahabbah tersebut.
Kedua: dalam setiap klasifikasi yang disebut diatas terdapat syarat dalam masing-masing tingkatan, padahal sepengetahuan pamakalah cinta (mahabbah) tidak bersyarat, menurut kami lebih tepatnya bukan syarat melainkan kualitas sikap hati seseorang yang dibedakan dalam setiap klasifikasi tingkatan mahabbah itu sendiri, contoh sesorang yang suka menyebut nama Allah SWT dan mengingat-Nya terus-menerus masuk dalam tingkatan mahabbah orang biasa dan seterusnya.
Dilain sisi, Imam Ghazali menjelaskan tentang kualitas mahabbah yang disebutkan dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din yang terbagi menjadi empat tingkatan.
Pertama, cinta diri (al-muhibb linafsih), yakni orang yang hanya mencintai dirinya saja. Segala macam kebaikan, kesetiaan, pengorbanan, dan kesungguhan orang lain diukur dengan apakah berhubungan dengan kesenangan dirinya atau tidak. Cinta model ini, Imam Ghazali menyebutnya sebagai yang terendah kualitasnya.
Kedua, adalah cinta kepada orang baik sepanjang kebaikan orang lain itu membawa kebaikan bagi dirinya (al-muhsin alladzi ahsana ilaihi). Ia siap membayar cinta dengan cinta, kehangatan dengan kehangatan, pemberian dengan pemberian. Sebaliknya, jika orang itu menjadi dingin ia pun membalasnya dengan dingin, bahkan ia pun siap dengan kebencian manakala orang itu membencinya, kualitas cinta seperti ini tak ubahnya seperti cinta pedagang, artinya ia siap memberi sebanding dengan apa yang ia terima, pedagang pekerjaannya mencari keuntungan, dan kalau ia mau bersusah payah adalah karena ia membayangkan keuntungan yang bakal diterimanya. Psikologi cinta pedagang, menurut Ghazali, adalah terletak pada kepuasannya menerima, bukan pada memberi.
Ketiga, adalah cinta kepada orang baik meskipun ia tidak memperoleh apa pun dari orang baik itu. Kualitas cinta seperti ini seperti cinta seseorang kepada Nabi SAW atau kepada ulama terdahulu. Meski tak pernah berjumpa dengan mereka, ia mencintainya, ingin meniru kebaikannya, mau berkorban demi ide-idenya. Bahkan ketika mempunyai anak, ia memberi nama dengan namanya. Psikologi cinta orang seperti ini, Ghazali menjelaskan, terletak pada kepuasan memberi, bukan kepuasan menerima.
Keempat, adalah cinta kepada kebaikan, tanpa embel-embel (al ihsan mahdlah). Bagi orang yang memiliki kualitas cinta seperti ini, kebaikan, ketulusan, kesungguhan, pengorbanan adalah suatu nilai yang bisa berpindah-pindah. Orang memang terkadang baik, tulus, dedikatif, tetapi suatu saat bisa berubah sebaliknya, karena itu, orang yang memiliki cinta kualitas tertinggi ini tidak melihat orang, tetapi sifatnya. Sebagai misal, penjahat yang kemudian bertaubat lebih ia cintai dibanding ulama yang kemudian murtad. Ketulusan orang kecil, lebih ia cintai dibanding kefasikan pembesar. Cinta dalam kualitas seperti inilah yang dapat mengantar orang pada cinta kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang Mahabaik, Tuhan adalah kebaikan itu sendiri.
Apa yang disampaikan al Ghazali diatas menurut pemakalah lebih mencakaup pada setiap aspek mahabbah dan ini kami kira lebih baik daripada apa yang disampaikan as-Sarraj, kerena konsep al Ghazali ini lebih membumi, sistematis dan realistis -tapi bukan berarti apa yang disebutkan as-Sarraj itu tidak realistis- dalam artian konsep al Ghazali ini lebih bersentuhan dengan kondisi realitas seseorang dalam kedalaman tingkat kecintaannya (mahabbah).

Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan psikologi yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1. Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
3. Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan.

Penutup
As-Sarraj adalah tokoh sufi besar dan karyanya Al-luma’ adalah salah satu kitab induk dalam ilmu tasawuf, banyak pemikiran As-Sarraj yang dituangkan dalam kitab tersebut, namun pembahasan yang ada didalamnya tidak semuanya mendetail seperti halnya pembahasan tentang mahabbah, oleh karena itu untuk sedikit melengkapi pembahasan makalah ini yang berbicara tentang mahabbah harus ditamabal dari refernsi lain yang tidak ada dalam Al-luma’.
Selain itu walaupun Al-luma’ merupakan salah satu kitab induk ilmu tasawuf tidak menafikan adanya ketidak selarasan pemikiran dengan karya orang lain dalam ilmu tasawuf dan juga tidak menafikan adanya ketidak setujuan pembaca terhadap isi dalam kitab tersebut, atas dasar inilah ada koreksi atau kritik terhadap kandungan karya as-Sarraj ini, namun terlepas dari semua itu, kitab ini adalah karya besar yang harus diakui beradaannya, oleh karena itu kami memberikan apresiasi setinggi-tinginya terhadap karya as-Sarraj ini yang telah memberikan pencerahan dalam banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar