Jumat, 15 April 2011

Mahabbah

Pendahuluan
Mahabbah (cinta) merupakan tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan di antara orang-orang yang suka berlomba, dengan sepoi anginnya, orang-orang yang beribadah merasakan ketenangan. Cinta merupakan santapan hati, makanan ruh dan kesenangannya. Cinta merupakan kehidupan, sehingga orang yang tidak memilikinya seperti orang mati. Cinta adalah cahaya, siapa yang tidak memilikinya seperti berada di tengah lautan yang gelap gulita. Cinta adalah obat penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya diendapi berbagai macam penyakit. Cinta adalah kelezatan, siapa yang tidak memilikinya maka seluruh hidupnya diwarnai kegelisahan dan penderitaan. Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan, yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya jasad yang tidak memiliki ruh. Cinta membawakan beban orang-orang yang mengadakan perjalanan saat menuju ke suatu negeri, yang tentu saja mereka akan keberatan jika beban itu dibawa sendiri. Cinta menghantarkan mereka ke tempat persinggahan yang selainnya tak bisa menghantarkan mereka ke tujuan. Cinta adalah kendaraan yang membawa mereka kepada sang kekasih. Cinta adalah jalan mereka yang lurus, yang menghantarkan mereka ke tempat persinggahan pertama yang terdekat. Demi Allah, para pemilik cinta telah pergi membawa kemuliaan dunia dan akhirat, sehingga akhirnya senantiasa bersama sang kekasih. Allah telah menetapkan bahwa seseorang itu bersama orang yang paling dicintainya. Sungguh ini merupakan kenikmatan tiada tara yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki cinta.
Makalah ini akan membahas tentang mahabbah yang rujukan utamanya adalah kitab Al luma’ karya Abu Nashr as-Sarraj, namun dalam kitab al luma’ itu sendiri penjelasan tentang mahabbah tidak terlalu luas, padahal pembicaraan tentang mahabbah itu menarik untuk disimak, oleh karena itu kiranya perlu ada tambahan-tambahan penjalasan yang diambil dari rujukan lain, ini ditujukan untuk memjelaskan apa yang tidak terdapat dalam kitab tersebut selain sebagai pembanding atau bahkan kritik terhadap kitab tesebut.

Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang, dan secara bahasa kata mahabbah berkisar pada lima perkara:
1. Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang.
2. Tinggi dan tampak jelas, seperti kata hababul-ma'i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras.
3. Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba'ir, yang berarti onta yang sedang menderum dan tidak mau bangkit lagi.
4. Inti dan relung, seperti kata habbatul-qalbi, yang berarti relung hati.
5. Menjaga dan menahan, seperti kata hibbul-ma'i lil-wi'a', yang berarti air yang terjaga di dalam bejana.
Selain itu mahabbah yang mempunyai arti kecintaan juga diartikan sebagai kelembutan, perasaan sayang dan kecenderungan, namun ketika cinta mempengaruhi dan meresapi semua perasaan manusia, ia disebut nafsu (passion) dan ketika ia menjadi sangat dalam dan tidak dapat ditahan dan ingin menyatu maka ia dinamakan gairah dan antusiasme.
Dari segi tasawuf al Qusyairi mengemukakan pengertian mahabbah sebagai berikut: mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt.
Sedangkan as-Sarraj menyebutkan bahwa mahabbah adalah kondisi spiritual seseorang yang dapat melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya ia melihat kedekatan Allah dengannya segala perlidungan , penjagaan dan perhatian-Nya yang dilimpahkan kepadanya, maka dengan keimanan dan hakikat keyakinannya ia melihat perlindungan, petunjuk dan cinta-Nya yang dianugrahkan kepadanya.
Mengamati penjelasan dari as-Sarraj diatas, terlihat bahwa yang ia kemukakan adalah sebab akibat atau dampak positif dari mahabbah itu sendiri karena ketika mahabbah (cinta) menyelimuti hati seeorang maka semuanya tampak indah, hal ini tersirat dari ungkapan husna tentang cinta dalam novel ketika cinta bertasbih, “cinta adalah kekuatan yang mampu mengubah duri jadi mawar, mengubah cuka jadi anggur, mengubah malang jadi untung, mengubah sedih jadi riang, mengubah setan jadi nabi, mengubah iblis jadi malaikat, mengubah sakit jadi sehat, mangubah kikir jadi dermawan, mengubah kandang jadi taman, mengubah penjara jadi istana, mengubah amarah jadi ramah, mengubah musibah jadi muhibah”, ungkapan di atas menjelaskan bahwa dengan cinta (mahabbah) sesorang dapat merasakan keindahan dan ketentraman walaupun yang tampak pada sisi luarnya adalah sebaliknya.
Kami melihat bahwa yang diungkapkan as-Sarraj bukanlah definisi tepat tentang mahabbah bahkan yang didefinisikan oleh al qusyairy sekalipun bukan pendefinisian yang tetap untuk mahabbah secara subtansial, kami beranggapan tidak ada satu definisipun yang bisa merepresentasikan mahabbah secara subtansialnya karena mahabbah (cinta) itu adalah perkerjaan jiwa sedangankan untuk melukiskan apa yang ada dalam jiwa dengan memakai simbol kata-kata kadang tidak tepat atau tidak sempurna, ia hanya menyentuh bagian kecilnya saja tidak bisa melukiskan secara kesuluruhan selain setiap pendefinisian yang dilakukan merupakan versi sabyektif seseorang, hal ini selaras dengan puisi tentang definisi cinta: “ sekalipun cinta telah ku uraikan panjang lebar, namun jika cinta ku datangi, akau jadi malu pada keteranganku sendiri, meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang, namun tampa lidah, cinta ternyata lebih terang, sementara pena begitu tergesa-gesa melukiskannya, kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta, dalam menguraikan cinta akal terbaring tak berdaya bagaikan keledai terbaring dalam lumpur, cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan”, dari puisi ini jelas bahwa cinta adalah pekerjaan jiwa hanya mampu dirasakan dengan perasaan dengan jelas namun sulit untuk mengungkapkan tentang arti cinta (mahabbah dalam hal ini), ini juga paralel dengan pernyataan al ghazali bahwa cinta itu tidak berbentuk.
Jadi menurut kami semua pendefinisian tentang mahabbah dalam penjelasan diatas adalah upaya menjelaskan perasaan yang ada dalam hati seseorang berkaitan dengan perasaan cintanya kepada Allah SWT walaupun bukan arti subtasial mahabbah itu sendiri, yang lebih tepatnya adalah penjelasan dari serpihan dari bagian-bagian yang dirasakan hati seseorang dalam mahabbah, kami lebih bersepakat membiarkan mahabbah dengan makna bahasanya saja, itu merupakan tindakan yang lebih aman untuk memaknai mahabbah daripada memberikan definisi pada hal yang tidak bisa disentuh dengan kongkret, hal ini bertujuan untuk tidak terjebak dalam kesalahan memahami arti mahabbah itu sendiri, walaupun disisi lain perlu adanya pendefinisian pada setiap sesuatu sebagai gambaran tentang sesuatu tersebut, namun dalam mahabbah kami lebih condong untuk tidak mengatakan definisi melainkan gambaran tentang kondisi mahabbah, biarlah hati setiap individu yang mengartikan mahabbah dalam hatinya sendiri.


Tujuan Mahabbah
Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.


Macam-Macam Mahabbah
Secara garis besar terbagi menjadi tiga macam.
Pertama : Mahabbah Tabi’at.
Macam mahabbah yang pertama ini bukanlah pembicaraan dalam makalah ini. Namun sangat penting untuk disinggung dan diperhatikan seiring betapa banyak yang tergelincir di dalam perkara ini, baik disadari maupun tidak.
Yaitu mahabbah yang seseorang condong kepada apa yang diinginkannya secara tabiat kemanusiaannya. Seperti kecintaan dan keinginannya kepada perkara-perkara mubah yang di antaranya Allah ? sebutkan di dalam ayat-Nya :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ من النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ الْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ من الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ الْحَرْثِ ذَالك مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ اللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk mencintai apa-apa yang diingini dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan kehidupan dunia dan di sisi Allah adalah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran: 14).

Kedua : Mahabbah kepada apa yang dicintai Allah, karena Allah dan di jalan-Nya.
Mahabbah ini terwujud pada diri seseorang kepada sesuatu yang memang dicintai Allah baik berupa manusia, seperti para nabi, rasul, orang-orang mukmin, atau amalan, seperti sholat, zakat, amalan-amalan kebaikan, ataupun waktu, seperti bulan Ramadhan, seperti hari-hari terakhir di bulan tersebut, ataupun tempat seperti masjid-masjid Allah, Ka’bah dan selainnya.
Tidaklah berlebihan bila macam mahabbah yang kedua ini merupakan penyempurna dan konsekuensi mahabbah seseorang kepada Allah, iman dan tauhidnya. Wa Lillahil Hamdu.
Ketiga : Mahabbah kepada Allah
Mahabbah ini yang menyebabkan seorang hamba menundukkan hatinya untuk mengagungkan Dzat yang dia cintai, mentaati dengan sebenar-benar ketaatan di dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya di atas seluruh makhluk-Nya, kalaulah seseorang beribadah tanpa disertai mahabbah maka jadilah dia beribadah tanpa ruh yang menggerakkan hati untuk menghadap Allah.

Tingkatan Mahabbah
Menurut Abu Nasr as-Sarraj mahabah mempunyai tiga tingkat:
(1) Mahabbah orang biasa, dimana mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah SWT, dalam artian rasa cintanya pada Allah karean ia meliahat kebaikan Allah kepadanya, dalam tingkatan mahabbah ini disyaratkan untuk: suka menyebut nama Allah SWT, mengingat-Nya terus-menerus (sebagaimana yang pernah ditanyakan pada samnun), selalu mengingat Allah dengan zikir, dan memdapatkan kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta memuji-Nya.
(2) Mahabbah orang jujur, yaitu orang yang kenal kepada Allah Swt. seperti kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya. Adapun sifat dan syarat nya adalah: Mahabbah ini dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah Swt. sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Allah SWT (abu husain an-nuri), dapat membuat orang sanggup orang sanggup menghilangkan keinginannya dan menghapus sifat-sifat dan kebutuhannya sendiri (jawaban dari ibrahim al-khawwas saat ditanya tentang mahabbah), orang yang berada pada mahabbah ini akan selalu mendapatkan kesenangan dengan “berdialog” pada Allah, sementara hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada-Nya (abu said al-kharraz saat ditanya tentang mahabbah).
(3) Mahabbah orang arif, yaitu cinta orang yang benar-benar mengetahui Allah SWT. ia memcintai-Nya tampa sebab dan alasan apapun, sifat-sifat mahabbah ini adalah memurnikan cinta kepada Allah tampa setitik noda apapun dengan cara hilang rasa cinta dari dalam hati dan anggota tubuh sehingga didalamnya tidak ada lagi rasa cinta (mahabbah) segala sesuatu hanya dengan Allah dan untuk Allah (dzun-nun al-mishri), dalam mahabbah ini yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta tetapi diri yang dicintai (abu ya’qub as-susi), masuknya sifat-sifat yang dicintai ke dalam diri yang mencintai (al- junaid), Cinta pada tingkat inilah yang menyebabkan seorang hamba dapat berdialog dan menyatu dengan (kehendak) Allah SWT.
Penggolongan mahabbah seperti halnya klasifikasi terhadap tingkatan mahabbah yang dilakukan as-Sarraj sulit untuk dilakukan, hanya orang yang memiliki pemahaman yang mendalam yang bisa melakukannya, atas dasar ini apa yang dilakukan oleh as-Sarraj ini sepatutnya mendapatkan apresiasi besar karena telah memberikan pencerahan terhadap pembaca dalam memahami mahabbah, hanya saja dalam pengklasifikasian ini tardapat beberapa hal yang membuat kami melakukan koreksi dan kritikan namun hal ini tidak mengurangi dalam memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada beliau, beberapa hal tesebut adalah bentuk ketidak samaan persepsi dengan beliau dan keluhan terhadap apa yang tertulis dalam kitab al-luma’, namun yang kami temukan ini bisa saja karena keterbatasan kami dalam memahami teks atau kekurang pahaman kami pada konsep.
Pertama: syarat-syarat dalam setiap tingkatan mahabbah diatas yang disebutkan oleh as-Sarraj tidak disusun sitematis, ia hanya menyebutkan syarat-syarat tersebut dengan menukil dari unglapan sufi yang lain sehingga ada kesan itu bukan syarat namun ungkapan sufi lain tentang mahabbah yang dipaksakan menjadi syarat dalam setiap tingkatan mahabbah tersebut.
Kedua: dalam setiap klasifikasi yang disebut diatas terdapat syarat dalam masing-masing tingkatan, padahal sepengetahuan pamakalah cinta (mahabbah) tidak bersyarat, menurut kami lebih tepatnya bukan syarat melainkan kualitas sikap hati seseorang yang dibedakan dalam setiap klasifikasi tingkatan mahabbah itu sendiri, contoh sesorang yang suka menyebut nama Allah SWT dan mengingat-Nya terus-menerus masuk dalam tingkatan mahabbah orang biasa dan seterusnya.
Dilain sisi, Imam Ghazali menjelaskan tentang kualitas mahabbah yang disebutkan dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din yang terbagi menjadi empat tingkatan.
Pertama, cinta diri (al-muhibb linafsih), yakni orang yang hanya mencintai dirinya saja. Segala macam kebaikan, kesetiaan, pengorbanan, dan kesungguhan orang lain diukur dengan apakah berhubungan dengan kesenangan dirinya atau tidak. Cinta model ini, Imam Ghazali menyebutnya sebagai yang terendah kualitasnya.
Kedua, adalah cinta kepada orang baik sepanjang kebaikan orang lain itu membawa kebaikan bagi dirinya (al-muhsin alladzi ahsana ilaihi). Ia siap membayar cinta dengan cinta, kehangatan dengan kehangatan, pemberian dengan pemberian. Sebaliknya, jika orang itu menjadi dingin ia pun membalasnya dengan dingin, bahkan ia pun siap dengan kebencian manakala orang itu membencinya, kualitas cinta seperti ini tak ubahnya seperti cinta pedagang, artinya ia siap memberi sebanding dengan apa yang ia terima, pedagang pekerjaannya mencari keuntungan, dan kalau ia mau bersusah payah adalah karena ia membayangkan keuntungan yang bakal diterimanya. Psikologi cinta pedagang, menurut Ghazali, adalah terletak pada kepuasannya menerima, bukan pada memberi.
Ketiga, adalah cinta kepada orang baik meskipun ia tidak memperoleh apa pun dari orang baik itu. Kualitas cinta seperti ini seperti cinta seseorang kepada Nabi SAW atau kepada ulama terdahulu. Meski tak pernah berjumpa dengan mereka, ia mencintainya, ingin meniru kebaikannya, mau berkorban demi ide-idenya. Bahkan ketika mempunyai anak, ia memberi nama dengan namanya. Psikologi cinta orang seperti ini, Ghazali menjelaskan, terletak pada kepuasan memberi, bukan kepuasan menerima.
Keempat, adalah cinta kepada kebaikan, tanpa embel-embel (al ihsan mahdlah). Bagi orang yang memiliki kualitas cinta seperti ini, kebaikan, ketulusan, kesungguhan, pengorbanan adalah suatu nilai yang bisa berpindah-pindah. Orang memang terkadang baik, tulus, dedikatif, tetapi suatu saat bisa berubah sebaliknya, karena itu, orang yang memiliki cinta kualitas tertinggi ini tidak melihat orang, tetapi sifatnya. Sebagai misal, penjahat yang kemudian bertaubat lebih ia cintai dibanding ulama yang kemudian murtad. Ketulusan orang kecil, lebih ia cintai dibanding kefasikan pembesar. Cinta dalam kualitas seperti inilah yang dapat mengantar orang pada cinta kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang Mahabaik, Tuhan adalah kebaikan itu sendiri.
Apa yang disampaikan al Ghazali diatas menurut pemakalah lebih mencakaup pada setiap aspek mahabbah dan ini kami kira lebih baik daripada apa yang disampaikan as-Sarraj, kerena konsep al Ghazali ini lebih membumi, sistematis dan realistis -tapi bukan berarti apa yang disebutkan as-Sarraj itu tidak realistis- dalam artian konsep al Ghazali ini lebih bersentuhan dengan kondisi realitas seseorang dalam kedalaman tingkat kecintaannya (mahabbah).

Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan psikologi yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1. Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
3. Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan.

Penutup
As-Sarraj adalah tokoh sufi besar dan karyanya Al-luma’ adalah salah satu kitab induk dalam ilmu tasawuf, banyak pemikiran As-Sarraj yang dituangkan dalam kitab tersebut, namun pembahasan yang ada didalamnya tidak semuanya mendetail seperti halnya pembahasan tentang mahabbah, oleh karena itu untuk sedikit melengkapi pembahasan makalah ini yang berbicara tentang mahabbah harus ditamabal dari refernsi lain yang tidak ada dalam Al-luma’.
Selain itu walaupun Al-luma’ merupakan salah satu kitab induk ilmu tasawuf tidak menafikan adanya ketidak selarasan pemikiran dengan karya orang lain dalam ilmu tasawuf dan juga tidak menafikan adanya ketidak setujuan pembaca terhadap isi dalam kitab tersebut, atas dasar inilah ada koreksi atau kritik terhadap kandungan karya as-Sarraj ini, namun terlepas dari semua itu, kitab ini adalah karya besar yang harus diakui beradaannya, oleh karena itu kami memberikan apresiasi setinggi-tinginya terhadap karya as-Sarraj ini yang telah memberikan pencerahan dalam banyak hal.

Minggu, 03 April 2011

Poligami

A. Latar Belakang
Islam adalah agama universal yang mengatur segenap tatanan kehidupan manusia. Sistem dan konsep yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim, tapi dapat dinikmati siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas ruang dan waktu, tetapi selalu laik diterapkan kapan dan di mana saja tanpa menghilangkan faktor-faktor kekhususan suatu masayarakat.
Allah SWT yang menciptakan manusia, tidak mungkin menetapkan yang tidak relevan dengan kehidupan manusia. Allah Maha Mngetahui segala sesuatu, termasuk sikap, sifat dan kecenderungan manusia dengan segala tabiatnya, baik dia jenis laki-laki maupun wanita, baik secara individu maupun sosial.
Poligami merupakan persoalan kemanusiaan dan masyarakat yang selalu menjadi bahan perbincangan di setiap tempat dan waktu. Oleh karena itu kami angkat persoalan ini dalam makalah ini berikut fenomena sosial tentang lebih banyaknya jumlah wanita disbanding jumlah laki-laki.

B. Hadits Utama

1071 - و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ ثَقِيفٍ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ حِينَ أَسْلَمَ الثَّقَفِيُّ أَمْسِكْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
Artinya: Rasulullah Saw mengatakan pada seorang laki-laki dari Bani Tsaqafi yang ketika masuk islam mempunyai sepuluh orang istri “pertahankanlah empat orang dari mereka dan ceraikanlah yang lainnya: (HR Imam Malik)

C. Hadits Pendukung
1.riwayat Imam Bukhari
4708 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
{ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى }
قَالَتْ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ عِنْدَ الرَّجُلِ وَهُوَ وَلِيُّهَا فَيَتَزَوَّجُهَا عَلَى مَالِهَا وَيُسِيءُ صُحْبَتَهَا وَلَا يَعْدِلُ فِي مَالِهَا فَلْيَتَزَوَّجْ مَا طَابَ لَهُ مِنْ النِّسَاءِ سِوَاهَا مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

4817 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ بْنِ حُنَيْنٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
دَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ فَقَالَ يَا بُنَيَّةِ لَا يَغُرَّنَّكِ هَذِهِ الَّتِي أَعْجَبَهَا حُسْنُهَا حُبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهَا يُرِيدُ عَائِشَةَ فَقَصَصْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ

4830 - حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ الْحَوْضِيُّ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَدِّثُكُمْ بِهِ أَحَدٌ غَيْرِي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَكْثُرَ الْجَهْلُ وَيَكْثُرَ الزِّنَا وَيَكْثُرَ شُرْبُ الْخَمْرِ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ وَيَكْثُرَ النِّسَاءُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

2. riwayat Imam Muslim

2656 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لَا يَنْتَهِي إِلَى الْمَرْأَةِ الْأُولَى إِلَّا فِي تِسْعٍ فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيهَا فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَجَاءَتْ زَيْنَبُ فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا فَقَالَتْ هَذِهِ زَيْنَبُ فَكَفَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَتَقَاوَلَتَا حَتَّى اسْتَخَبَتَا وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ عَلَى ذَلِكَ فَسَمِعَ أَصْوَاتَهُمَا فَقَالَ اخْرُجْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى الصَّلَاةِ وَاحْثُ فِي أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ الْآنَ يَقْضِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ فَيَجِيءُ أَبُو بَكْرٍ فَيَفْعَلُ بِي وَيَفْعَلُ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا قَوْلًا شَدِيدًا وَقَالَ أَتَصْنَعِينَ هَذَا.

3. riwayat Ibn Majah
2028 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِىُّ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنِ ابْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ « اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا ».


4. riwayat Imam Ahmad
26108 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ عَنْ أُمِّهِ سَلْمَى بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَتْ كَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ لَا تَغُشَّنَّ أَزْوَاجَكُنَّ قَالَتْ فَلَمَّا انْصَرَفْنَا قُلْنَا وَاللَّهِ لَوْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِشُّ أَزْوَاجِنَا قَالَتْ فَرَجَعْنَا فَسَأَلْنَاهُ قَالَ أَنْ تُحَابِينَ أَوْ تُهَادِينَ بِمَالِهِ غَيْرَهُ.

C. Takhrij Hadits
Berikut ini biografi singkat perawi hadith utama:
1. Yahya
a. Nama lengkap : Yahya bin Adam bin Sulaiman Al-Qursyi al-Amwa, Abu Zakaria al-Kufi, Mawla khalid bin Khalid bin uqubah bin Abi mui’th. Dari segi tabaqatnya, ia termasuk sigharu at-tabiin dan wafat 203 H.
b. Guru : yahya bin zakariya bin abi zaidah, Abi Muawiyah Ad-dhariiro, Qutbah bin Abdul Aziz.
c. murid : Ishaq bin Ibrahim bin nashri Al-bukhari, Yahya Bin Mu’in, Abdah bin Abullah As-shafar.
d. kredibilitas : Dalam kapasitasnya sebagai rawi hadith, al-hafidh dalam tahdib al-kamal ibn hajar menyebutnya dengan siqah dan hafidzh fadhil(penghapal utama) dan Az-zahabi menyebutnya Ahadul A’lam .

2. Malik
a. Nama lengkap : Malik At-thai Al-kufi ( Walid khasfi bin Malik). Dari segi tabaqatnya, ia termasuk Kibar al-Tabi’in. Tahun wafatnya belum dicantumkan.
b. Guru : Abdullah bin Mas’ud.
c. Murid : Khasaf bin Malik (anaknya)
d. kredibilatas : Ibn hajar menilai belum disebutkan (lam yujkaroha) dan Az-zahabi menyebutnya (la yu’rof) belum diketahui.

3. Ibn Shihab
a. Nama lengkap :Ahmar bin Juz’I, pendapat yang lain Ahmar bin Suwai bin Juz’I, pendapat yang lain Ahmar bin Shihab bin Juz’I bin Sa’labah bin Zaid bin Malik bin Sunan As-sudusi Ar-rob’i’. beliau termasuk tabaqat As-shohabi. Tahun wafatnya belum dicantumkan.
b. Guru : Beliau langsung berguru kepada Rasulullah seperti yang disebutkan oleh Al-maji dalam kitab Tahdzibu Al-Kamal
c. Murid : Hasan al-Bashri
d. kredibilitas : shohabi



D. Silsilah Sanad




Tingkat Shahabat








E. Faliditas Hadits
Dilihat dari data hadits utama di atas adalah hadits mursal. Yaitu hadits yang sanadnya putus di tingkat sahabat, akan tetapi walaupun pada dasarnya hadits ini tergolong hadits dhaif namun dalam penghujjahan terhadap hadits mursal setidaknya ada sepuluh pendapat ulama’ dan yang paling masyhur diantara beberapa pendapat itu ada tiga yaitu:
1. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan sekelompok ilmuan, menyatakan, hadits mursal boleh dijadikan hujjah.
2. Imam Nawawi menceritakan bahwa Jumhurul ulama hadits, Imam Syafi’i dan sebagian besar fuqaha’ ulama’ usul berpendapat ketidak bolehan hadits mursal dijadikan hujjah, ini peraler dengan pendapat Imam Muslim tentang hal tersebut.
3. bolehnya hadits mursal dijadikan hujjah apabila ada hadits lain yang mendukung baik hadits itu musnad atau mursal yang lain atau sahabat dan orang-orang yang mengerti tentang agama banyak yang mempraktekannya .
Atas dasar pendapat yang ketiga ini dan sebagai jalan mengkompromikan beberapa pendapat maka hadits mursal dapat dijadikan hujjah.
F. Fonomena Banyaknya Populasi Wanita
Menurut sensus dan statistik terakhir penduduk dunia saat ini diperkirakan sudah mencapai 6 milyar manusia, laki-laki berkisar 2 milyar dan wanita berkisar 3 milyar, setidaknya ada lebih dari 1 milyar wanita di dunia ini ,
Di Indonesia yg menurut data BPS tahun 1999 jumlah penduduknya mencapai 191juta, kaum wanita lebih besar sekitar 448.000, berarti kalau semua laki-laki di Indonesia beristri, maka masih ada 448.000 kaum wanita yang belum memiliki calon suami.
Amerika Serikat jumlah wanita 7,8 juta lebih besar dari laki-laki, ini berarti kalau semua laki-laki di Amerika Serikat beristri, maka masih ada 7,8 juta wanita yang belum memiliki calon suami .
Data ini kemudian akan menjadi polemik kalau kita tarik pada ranah model berkeluarga yang ada yaitu monogami dan paligami, pada satu sisi keberadaan poligami masih menjadi pro-konrta dalam masyarat dunia bahkan dalam Islam selipun, sisisi lain kalau kita memakai model monogami akan menimbulkan pertanyaan besar atas problematika masyarakat social modern dalam rangka menjawab kebutuhan biologis manusia dengan tata cara yang benar dan tidak bertentangan dengan ajaran agama sekaligus peminimalisiran penyakit social.
Terlepas dari pro dan kontra dan untuk menyikapi fonomina ini, kami kira Islam telah menjawabnya dengan diperbolehkannya Poligami, tapi dalam melaksanakan ajaran poligami kita tidak serta merta bisa melakukannya karena ada persyatan didalamnya yang akan di jelaskan dalam makalah ini.


G. Historisitas Poligami
Untuk memahani kasus poligami ini tidak ada salahnya kita tahu catatan sejarah mengenai poligami yang sudah ada sejak praIslam,yang telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa terdahulu., seperti bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia, Mesir dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam sejarah dunia.
Cina pernah mempunyai undang-undang yang membolehkan laki-laki berpoligami dengan 130 wanita. Sejarah Cina juga pernah mencatat bahwa salah seorang bangsawannya pernah memiliki isteri sebanyak 30.000 isteri.
Bangsa Yahudi pun pernah membolehkan pengikutnya berpolgami. Bahkan para nabi Bani Israil mempunyai banyak isteri. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 isteri dari orang merdeka dan 300 wanita dari kalangan hamba sahaya.
Waster Mark, pakar sejarah perkawinan pernah menulis: “Poligami telah diakui gereja hingga abad ke 17”. Ia juga menyebutkan bahwa raja Irlandia, Masdt memiliki dua isteri .
Di Indinesia pada masa kerajaan nusantara para raja dan pembesar kerajaan umumnya mempunyai dayang dan selir selain permaisuri atau isteri sah yang biasa disebut garwa padmi, contoh raden wijaya pendiri kerajaan majapahit memiliki tiga istri puteri prabu kertanegara dari singasari, ken arok mempunyai dua istri yaitu kendedes dan ken umang, dan begitupula dengan raja-raja yang lain
Masih bayak kasus-kasus poligami lainnya dalam catatan sejarah, dari sini jelas bahwa masalah poligami sudah ada sebelum masa kerosulan Nabi Muhammad, bahkan syariat Nabi Muhammad membatasi jumlah istri yaitu hanya boleh empat orang isrti hal ini sekaligus menghapus kebiasaan orang jahiliyah dan umat-umat sebelumnya yang menikahi wanita dengan jumlah yang banyak dan tidak dibatasi, ini mengindikasikan bahwa kedatangan Nabi Muhammad untuk mengangkat martabat wanita, tapi anehnya hal ini malah menjadi bahan cercaan bagi umat Islam tidak terkecuali pada Nabi Muhammad yang diserukan oleh para orientalis.
Pertanyaan yang selanjutnya apakah sebagian umat Islam juga mau ikut-ikutan mencerca kebijakan poligami yang notabenenya dibawa oleh Rosulnya dengan dasar berpikir kritis dan disandarkan dengan Hak Asasi Wanita, padahal kalau melihat pada fenomena sekarang yaitu permasalahan social yang semakin kompleks khususnya di Indonesia yang menjadi rapot merah adalah pergaulan bebas yang tak terbendung, penyakit HIV/AIDS, perselingkuhan dan penyakit social lainnya yang semua itu berkaitan erat dengan pembahasan ini.


H. Ketentuan Dalam Poligami
Diperbolehkannya poligami tidak terlepas kari bererapa ketentuan diantaranya:
1) Jumlah isteri sesuai dengan batasan agam yaitu empat sesuia dengan firman Allah surat annisa ayat tiga, bukan berpoligami dengan jumlah wanita semau hati dan berpoligami yang melebihi ketentuan jumlah ini jelas menyalahi aturan dan tentunya tidak sah, sekalipun ada yang berpendapat dengan jumlah yang melebihi “empat” dan ini tidak sejalan dengan pendapat jumhur.
2) Berlaku adil yang meliputi: pemberian nafakah, pakaian, tempat tinggal dan giliran , masalah adil disini hanya bersifat material dan yang bisa dikonterol oleh manusia seperti nafakah dan lainnya bukan dalam artian inmaterial seperti tingkat kecintaan, Karena hal ini sulit dilakukan bahkan oleh Nabi sekalipun, dan kalau adil disini diartikan secara umum maka jelas manusia tidak bisa melakukannya dan implikasinya poligami tidak boleh tetapi kalau poligami tidak diperbolehkan karena tidak bisa berprilaku adil sepenuhnya kenapa Allah menfirmankan Ayat yang diindikasikan sebagai ayat poligami dan bagaimana memparalerkannya dengan statement bahwa kandungan Alqu’an tidak ada yang sia-sia, dan mengapa Rosullah tidak melarang poligami bagi para sahabatnya, sejalan dengan itu malah banyak hadis yang menerangkan tentang poligami, dan sejarah para tabi’an dan para ulama’ besar Islam banyak diantara mereka yang berpoligami, baik dulu maupun sekarang, dan di Indonesia para kiai-kiailah yang sering berpoligami, yang notabenenya mereka semua lebih mengerti tentang masalah agama.
3) Kebolehan poligami itu dalam kondisi tertentu, yang berarti bahwa poligami bukan suatu keharusan untuk dilakukan ,contoh suami yang mempunyai syahwat yang tinggi dan tidak cukup baginya satu istri, tetapi hal ini bukan berarti poligami adalah sarana pemuas nafsu, karena poligami yang dilakulan hanya atas dasar nafsu balaka dan tidak memerhatikan ketentuan-ketentuian yang lain tidak diperbolehkan, juga poligami dianjurkan ketika jumlah populasi wanita lebih dominant daripada jumlah laki-laki dan ini paraler dengan ketentuan berikutnya.
4) Poligami dapat memecahkan persoalan social, dalam hal ini kami kira permasalah yang telah dijelaskan diatas seperti jumlah wanita yang lebih dominant dan kaitannya dengan system berkeluarga atau penyakit social yang bermunculan dizaman moderen ini bisa dipecahkan oleh poligami walau tidak sepenuhnya tapi setidaknya bisa meminimalis, dalam edisin tanggal 20 April 1901 harian “Lagos Weekly Record” pernah memuat tulisan yang dinukil dari dari harian “London Trust” tulisan seorang wanita Inggris yang berbunyi: “Telah banyak wanita jalanan di tengah-tengah masyarakat kita, tapi sedikit sekali para ilmuwan membahas sebab-sebabnya. Saya adalah seorang wanita yang hati ini merasa pedih menyaksikan pemandangan ini. Tapi kesedihanku tak bermanfaat apa-apa, maka tidak ada jalan lain kecuali menghilangkan kondisi ini. Maka benarlah apa yang dilakukan seorang ilmuwan bernama Thomas, ia telah melihat penyakit ini dan menyebutkan obatnya, yaitu “membolehkan laki-laki kawin dengan lebih dari satu wanita”. Dengan cara inilah segala musibah akan berlalu, dan genarasi wanita kita akan mempunyai rumah tangga. Bencana yang besar kini adalah karena memaksa pria Eropa untuk cukup kawin dengan satu orang wanita” , kalau wanita eropa saja sudah mersa resah dengan kondisi social saat itu dan menganjurkan laki-laki untuk berpoligami, lalu bagaimana dengan umat Islam melihat degradasi moral generasi saat ini yang Islam sendiri sangat memerhatikan penegakan keamanan dan ketentraman individu untuk melindungi integtiras dan moral masyarakat terbukti dengan diutusnya Nabi Muhammad untuk menciptakan suasana moralitas yang baik.

I. Urgensitas Poligami
Dalam kondisi social seperti diatas, maka poligami merupakan persoalan yang urgen, baik ditinjau dari kemaslahatan etika dan moral maupun sosial. Poligami dalam kondisi ini lebih baik dari pada ditemukannya wanita-wanita yang tidak punyai keluarga, dan itu dapat menimbulkan kejahatan dan perilaku negative serta penyakit sosial.
Di Indonesia saja banyak kasus yang memprihatinkan, ironis dan bahkan memalukan bagi masyarakat yang penduduknya lebih banyak muslimnya ini, sebut saja banyaknya wanita tuna sulila berkeliaran bahkan disurabya terdapat komplek doly dilegalkan oleh pemerintah dan merupaka salah satu komplek pemelacuran terbesar di Asia Tenggara, juga banyaknya perselingkuhan, anak lahir tampa mempunyai ayah yang jelas, ini adalah persoalan penting yang harus disikapi dengan bijak atau membiarkannya hancur bigitu saja.
Poligami adalah solusi bijak untuk mengurangi tingkat negative peradaban moderen ini, memang ada sisi negative dalam poligami salah satunya wanita tidak mau dimadu dan ini dapat berdampak pada psikologis mereka dengan merasa tidak nyaman, dengki, cumburu dan sebagainya dan ini juga salah satu argument penolakan terhadap poligami, akan terapi kalau melihat tingkat kemaslahatan yang ditimbulkan maka poligami adalah jalan yang terbaik daripada perselingkuhan dengan wanita lain yang dikenal dengan sebutan WIL, ini malah akan menjadi ulat dalam rumah tangga.
Ada salah satu fenomena yang menimbulkan tanda Tanya yaitu ada sebagian istri yang mengizinkan suaminya untuk “jajan diluar” daripada berpoligami, ini mungkin diakibatkan karena istri enggan menerima resiko dimadu, padahal sadar atau didak prilaku mereka akan menambah kerusakan sendi-sendi moral yang berakibat pada hancurnya tatanan kemasyarakatan, memang situasi ini adalah pilihan yang delematis bagi wanita, antara dimadu dan menyelamatkan social dari degradasi moral,
Fonomena diatas menggambarkan seolah-olah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, mengorbankan suatu yang halal kepada yang haram, juga tidak kalah anehnya ketika melihat respon masyarakat terhadap poligami yang dilakukan oleh Aa Gym, banyak demo-demo yang menentang keputusan Aa Gym berpoligami tetapi pada sisi yang lain tidak ada sekalipun orang yang berdemo dalam menyikapi banyaknya kasus perselingkuhan dan pemberantasan pelacuran, mungkin yang paling banyak disikapi dalam kasus yang mempunyai korelasi dengan moral dan etika adalah tentang pornografi dan pornoaksi, dan yang menjadi pertanyan kenapa yang jelas halal mendapat banyak respon negative sedangkan suatu yang tercela malah tidak ada tanggapan kritis dalam menyikapi penyakit social ini, padahal poligami adalah ajaran Allah SWT yang terkandung dalam Alqur’an dan Allah maha mengetahui factor penyebab serta akibat pewahyuan ayat poligami tersebut yang tentunya ada factor mashlahah didalamnya baik dulu saat ayat ini diturunkan maupun sekarang karena salah satu mukjizat Alqur’an adalah multi ruang dan waktu, dan poligami bukanlah hasil isiatif manusia
Selain diatas poligami sangat urgen dalam penyelesaian kasus intern keluarga semisal seorang istri mandul dan suaminya menginginkan keturunan, poligami dapat menjadi solusi baik daripada harus mengadopsi anak orang lain yang sarat dengan kompleksitas, atau beberapa kasus keluarga lainnya.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik benang merah bahwa poligami dapat menjadi solusi bijak dalam menyikapi problematika moral dalam skala social dan dapat menyelesaikan permasalahan intern keluaraga.

J. Kesimpulan
• Hadits mursal dapat dijadikan hujjah, apabila didukung oleh hadits lain atau praktek sahabat atau orang-orang yang paham terhadap Agama.
• Populasi wanita saat ini lebih dominant daripada populasi laki-kali dan ini membutuhkan solusi yang dapat mengakomodir wanita khususnya dalam masalah rumah tangga.
• Populasi wanita yang lebih banyak adalah salah satu sumber penyakit social, contoh maraknya pelacuran dan lain sebagainya dan poligami dapat meminimalisir hal tersebut
• Islam datang untuk membentuk moral lebih baik dan Islam dapat menjawab problematika social saat ini
• Dalam poligami ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan ia dianjurkan menjadi sangat penting dalam kondisi tertentu.
• Poligami adalah upaya dalam mengangkat martabat wanita dan ini berbeda dengan kleim orientalis tentang poligami.
• Poligami masih menyisakan pro dan kontra yang harus dikaji kembali khususnya dalam menyikapi promlem social dewasa ini dengan bijak.





DAFTAR PUSTAKA
- Setiyaji, Achmad, Aa Gym mengapa berpoligami?,QiltumMedia, Cet 1, 2006, jakarta selatan
- Fadlurrahman, Islam Mengangkat martabat wanita, Putra Pelajar, Cet 1, 1999, Gresik, Jawa Timur.
- Mas’ud, Ibnu, dan Abidin.S, Zainal, Fiqih Madhab Syafi’i, Pustaka Setia, Bandung
- Tutik, Titik Triwulan, dan Trianto, Poligami Persepektif Perikatan Nikah, Prestasi Pustaka, Cet 1, Jakarta.
- ‘Ijajul Khotib, Muhammad, Usulul Hadits, Darul Fikr.
- Al-Maktabah As-Syamilah dalam kitab At-Tahdibu Al-Kamal.
- Al-Maktabah As-Syamilah dalam kitab Muwattha’nya Imam Malik.
- http://www.pks- kotatangerang.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=358&Itemid=29
- http://dokterbantal.tripod.com/f_artikel_islam/syarat-syarat%20poligami%20dalam%20islam.htm
- http://groups.yahoo.com/group/islam-kristen/message/10030
- http://groups.google.com/group/soc.culture.filipino/browse_thread/thread/bb1df62be036c1dd